Monumen Gempabumi Liwa 1994 |
Menghadiri apel belasungkawa dan ziarah korban gempa Liwa 1994 yang diadakan oleh teman-teman PKBI Lampung Barat, hari ini tanggal 16 Pebruari 2023, menyisakan keharuan sendiri, paling tidak buat saya yang baru pertama kalinya hadir mengikuti acara ini.
Apel belasungkawa yang juga menjadi judul kegiatan, berlangsung penuh kesederhanaan, tapi juga penuh khidmat. Tidak ada iringan “korsik”, hanya rekaman suara syahdu Opick melantunkan “Bila Waktu T’lah Berakhir” yang menjadi backsoundnya. Itupun berasal dari Hp salah satu panitia dengan menggunakan pengeras suara. Suasana mendung yang memayungi area kuburan massal seluas 0,5 Ha ini, seolah bertanda diterimanya ucapan maklumat belasungkawa, dan doa yang dihaturkan. Tak sedikit terdengar isak tertahan dari beberapa tamu undangan yang hadir, mungkin teringat peristiwa 29 tahun lalu, peristiwa alam yang telah memisahkan anak, orang tua, suami, istri, tetangga, sahabat dan sanak famili. Nama-nama itu kini tertera dalam plat besi yang terpajang di dinding monumen kuburan massal Korban Gempa Liwa 1994, yang berada persis dihadapan kami.
Bencana merupakan cara ampuh Tuhan untuk menyadarkan kembali manusia yang “lupa” akan hakekat hidup yang diamanahkan-Nya. Bencana juga menjadi cara Tuhan untuk memperkuat keimanan hamba-Nya. Karenanya Jejak Erwinanta berharap semoga “Apel Belasungkawa Gempa Liwa 1994” yang dipelopori oleh PKBI, dapat menjadi agenda tahunan Pemerintah Daerah dan lapisan masyarakat Lampung Barat, yang telah berkomitmen sebagai Kabupaten Tangguh Bencana. Pengingat untuk menyadarkan kembali akan makna kehidupan, memperkuat empati dan solidaritas serta bijaksana dalam memanfaatkan sumber daya alamnya.
Apel Belasungkawa Gempa Liwa, foto: PKBI Lambar 2023 |
Peristiwa gempa yang melanda Liwa tahun 1994, terjadi 2 tahun, 4 bulan setelah Kabupaten Lampung Barat diresmikan sebagai Daerah Tingkat II di Propinsi Lampung, tepatnya pada hari Rabu, tanggal 16 Pebruari, pukul 00:07:45 WIB atau menurut kalender islam pada tanggal 5 Ramadhan 1414 H. Jika berdasarkan standar waktu dunia, gempa Liwa terjadi pada hari Selasa, tanggal 15 Pebruari 1994 pukul 17:07:45 Greenwich Mean Time (GMT). GMT disebut juga sebagai Waktu Universal Terkoordinasi atau Universal Time Coordinated yang disingkat sebagai UTC. Selisih waktu antara GMT ke Waktu Indonesia bagian Barat (WIB) adalah + 7 jam, biasanya disimbolkan sebagai zona waktu UTC+07.
Gempa Liwa 1994 termasuk gempa dangkal dengan hiposentrum berada pada kedalaman 23 km dan episentrum terletak pada koordinat 04,96’ Lintang Selatan dan 104,30’ Bujur Timur. Jika dipetakan maka sumber titik gempa berada di bagian utara dari Kecamatan Sekincau saat ini.
Berdasarkan Katalog BMKG (2019) besarnya kekuatan gempabumi Liwa tahun 1994 mencapai Magnitudo 6,6 sedangkan berdasarkan USGS (1998) kekuatan gempa liwa mencapai 7,2 skala Richter, dengan intensitas guncangan gempa berada pada level VIII-X mmi, dimana yang terkuat dan terparah berada di Liwa dan sekitarnya dengan level IX-X mmi. Getaran dengan skala II mmi terasa hingga Jakarta dan Singapura.
Gempa liwa yang berlangsung ± 50 detik, telah menyebabkan ± 6.000 unit bangunan hancur, dan menyebabkan 207 orang meninggal dunia, yang terdiri dari 118 orang dewasa dan 89 orang anak-anak. Nama-nama korban yang meninggal ini tercantum pada Monumen Gempa yang terletak di dalam area Kuburan Massal Gempa Liwa. Diperkirakan lebih dari 2.000 jiwa terluka, dan 75.000 jiwa kehilangan tempat tinggal. Kerusakan akibat gempa menyebabkan kerugian yang diperkirakan mencapai 160 juta USD. Gempa juga menyebabkan timbulnya rekahan tanah, longsor, dan kebakaran dibeberapa tempat di Liwa.
Nama-nama Korban Gempabumi Liwa 16 Pebruari 1994 |
Wilayah Kabupaten Lampung Barat berada di atas zona subduksi yang merupakan pertemuan antara lempeng Indo Australia dengan lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia dengan arah miring sekitar 45 derajat, dan bergerak sekitar 50-70 cm/tahun. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya sesar atau patahan (fault) yang memanjang dari kepulauan Andaman hingga selat Sunda sejauh 1.900 km. Jalur sesar sumatera ditandai dengan adanya pegunungan Bukit Barisan di bagian sisi barat pulau Sumatera. Sesar Sumatera terbagi menjadi 19 segmen dan merupakan sesar tektonik aktif yang menyebabkan berbagai kejadian gempa besar yang merusak.
Kabupaten Lampung Barat memiliki tingkat kerawanan terhadap gempabumi yang sangat tinggi, karena wilayahnya dilalui oleh 2 (dua) segmen Sesar Sumatera, yaitu segmen sesar Komering dan segmen sesar Semangko. Tercatat ada tiga peristiwa gempa dengan kekuatan > 7 skala richter yang pernah mengguncang Lampung Barat, yaitu gempa pada tahun 1908 dengan kekuatan gempa mencapai 7,0 SR sebagai aktivitas tektonik sesar Semangko. Tahun 1933 dengan kekuatan gempa 7,5 SR dan Tahun 1994 dengan kekuatan gempa 7,2 SR, sebagai aktivitas tektonik dari sesar Komering (Natawidjaja dan Triyoso, 2007)
Baca Juga: | Danau Suoh : Jejak Erupsi Freatik ... |
Gempabumi merupakan salah satu bencana yang disebabkan oleh alam. Pemicu gempa dapat berasal dari aktivitas vulkanis, atau aktivitas gerak lempeng bumi yang disebut tektonik. Gempa tektonik merupakan bencana yang paling sering terjadi, dan menyebabkan kerusakan yang meluas. Seperti contohnya gempa Cianjur pada 21 November 2022 silam dengan kekuatan gempa Magnitudo 5,6, dan yang terbaru adalah gempa Turki pada tanggal 6 Pebruari 2023 dengan kekuatan gempa mencapai Magnitudo 7,8.
Dari berbagai informasi seputar gempabumi, ada beberapa istilah yang menurut Jejak Erwinanta penting untuk diketahui, karena istilah-istilah tersebut dapat memberikan gambaran seberapa besar potensi kerusakan yang akan ditimbulkan dari suatu peristiwa gempabumi, dan menjadi dasar pertimbangan guna penyusunan rencana aksi pengurangan dampak resiko yang ditimbulkan.
1. Seismograf
Dirangkum dari situs ilmugeografi.com dan khazanah.republika.co.id, seismograf adalah alat yang digunakan untuk mengukur gempa atau getaran yang terjadi pada permukaan bumi. Seismograf disebut juga seismometer yang dalam bahasa Yunani “seismos” berarti gempabumi dan “metreo” yang berarti mengukur. Seismograf dilengkapi dengan kertas pencatat getaran berbentuk grafik yang disebut seismogram.
Keberadaan seismograf pada daerah rawan gempa menjadi sangat penting, karena berfungsi sebagai perangkat dari sistem deteksi dini dan juga perekam kejadian gempabumi. Ada 4 parameter pengukuran kejadian gempa, yaitu waktu kejadian (origin time), lokasi episenter, kedalaman sumber gempa bumi, dan magnitudo.
Seismograf pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Cina yang bernama Zhang Heng (79-139) pada zaman Dinasti Han. Penyempurnaan terhadap alat seismograf terus dilakukan, tercatat ilmuwan muslim bernama Nashiruddin Thusi (1201-1274) pada abad ke-13. Pada tahun 1875 seorang ilmuwan Italia, bernama Filippo Cecchi, berhasil merintis alat seismograf modern yang mampu menentukan waktu kejadian serta durasi lama gempa. Prinsip kerja seismograf Cecchi menggunakan pendulum untuk mengukur gelombang seismik. Tahun 1880 ilmuwan Inggris bernama John Milne, berhasil menciptakan dan mengembangkan alat pendeteksi gempa modern sebagai cikal bakal seismograf yang digunakan pada saat ini. John Milne juga sebagai pencetus dan pendiri 40 stasiun pengamatan gempa (stasiun seismologi) yang ada di Amerika, Rusia, Inggris, Kanada, dan Antartika.
2. Klasifikasi Ukuran Gempa
Seismograf menggunakan dua klasifikasi yang berbeda untuk mengukur gelombang seismik yang dihasilkan gempa, yaitu besaran gempa dan intensitas gempa. Untuk menggambarkan besaran gempa digunakan ukuran magnitudo dan skala richter, sedangkan intensitas gempa, atau pengaruh gempa terhadap tanah, gedung, dan manusia, digunakan skala intensitas Mercalli yang dimodifikasi.
Skala Magnitudo adalah ukuran dari besarnya gempabumi (ukuran atau kekuatan) berdasarkan pada momen seismik. Magnitudo memiliki keakuratan yang amat tinggi, dibandingkan dengan skala Richter. Skala Magnitudo diperkenalkan pertama kali oleh Tom Hanks dan Hiroo Kanamori pada 1979. Skala Magnitudo terbagi menjadi enam tingkatan, yaitu:
- < 2.5 : Biasanya tidak dirasakan, tetapi dapat dicatat dengan seismograf
- 2.5 - 5.4 : Seringkali dirasakan, tetapi hanya mengakibatkan kerusakan kecil
- 5.5 - 6.0 : Menyebabkan kerusakan ringan terhadap bangunan
- 6.1 - 6.9 : Mengakibatkan banyak kerusakan di daerah padat penduduk
- 7.0 - 7.9 : Termasuk gempa besar yang mengakibatkan kerusakan serius
- > 8.0 : Gempa besar. Dapat menghancurkan wilayah dekat pusat gempa
Skala Richter, didasari pada perhitungan dengan menggunakan amplitudo. Amplitudo adalah pergeseran vertikal yang disebabkan oleh gelombang seismik. Skala ini diperkenalkan oleh seismolog asal Amerika Serikat, Charles F. Richter dan Beno Gutenberg pada tahun 1935. Menurut United States Geological Survey, skala Richter disebut juga Magnitudo Lokal (ML). Tingkatan pada skala Richter yang perlu Sobat ketahui sebagai berikut:
- < 2.0 : Gempa kecil, tidak terasa
- 2.0-2.9 Tidak terasa, tetapi terekam oleh alat
- 3.0-3.9 Seringkali terasa, tetapi jarang menimbulkan kerusakan
- 4.0-4.9 Dapat diketahui dari bergetarnya perabot dalam ruangan, suara gaduh bergetar. Kerusakan tidak terlalu signifikan.
- 5.0-5.9 Dapat menyebabkan kerusakan besar pada bangunan pada area yang kecil. Umumnya kerusakan kecil pada bangunan yang didesain dengan baik
- 6.0-6.9 Dapat merusak area hingga jarak sekitar 160 km
- 7.0-7.9 Dapat menyebabkan kerusakan serius dalam area lebih luas
- 8.0-8.9 Dapat menyebabkan kerusakan serius hingga dalam area ratusan mil
- 9.0-9.9 Menghancurkan area ribuan mil
- 10.0-10.9 : Terasa dan dapat menghancurkan sebuah benua
- 11.0-11.9 : Dapat terasa di separuh sisi bumi. Biasanya hanya terjadi akibat tumbukan meteorit raksasa. Biasanya disertai dengan gemuruh. Contohnya tumbukan meteorit di teluk Chesepeak.
- 12.0-12.9 : Bisa terasa di seluruh dunia. Hanya terekam sekali, saat tumbukan meteorit di semenanjung Yucatan, 65 juta tahun yang lalu yang membentuk kawah Chicxulub
- > 13.0 : Belum pernah terekam
Skala Modified Mercally Intensity (MMI) dicetuskan oleh Giuseppe Mercalli pada tahun 1902. MMI digunakan untuk mengukur seberapa besar intensitas getaran yang ditimbulkan oleh gempa. Tidak ada cara penghitungan secara kuantitatif, karena ukuran ini ditentukan berdasar hasil pengamatan dari orang yang mengalami atau melihat gempa. Karena dihitung berdasar pengamatan / observasi, maka skala MMI ini tidak sama di setiap tempat. Lokasi yang dekat dengan episentrum (pusat gempa) harusnya memiliki skala MMI yang besar.
Skala MMI, Sumber BMKG |
3. Percepatan Tanah Puncak atau PGA
Dikutip dari halaman id.wikipedia.org, PGA atau Peak Ground Acceleration adalah percepatan tanah maksimum yang terjadi ketika gempabumi menggetarkan suatu lokasi. Percepatan tanah puncak dapat dinyatakan dalam fraksi g (percepatan standar terhadap gravitasi Bumi, ekuivalen dengan gaya g, baik dalam bentuk desimal maupun persentase dengan satuan m/s2 (1 g = 9,81 m/s2). Percepatan tanah puncak juga dapat dinyatakan sebagai perkalian dari Gal, dengan 1 Gal sama dengan 0,01 m/s2 (1 g = 981 Gal). Semakin besar nilai PGA, semakin besar bahaya dan resiko gempabumi yang mungkin terjadi.
Percepatan tanah adalah faktor utama yang mempengaruhi konstruksi bangunan dan menimbulkan momen gaya yang terdistribusikan merata di titik-titik bangunan, sehingga PGA menjadi tolak ukur untuk perhitungan bangunan tahan gempa serta menjadi dasar pertimbangan untuk pemetaan terkait mikrozonasi gempa.
Perhitungan PGA digunakan oleh BMKG sebagai Skala Intensitas Gempabumi (SIG). Dikutip dari halaman situs bmkg.go.id: SIG adalah Skala Intensitas Gempabumi untuk menyatakan dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya gempabumi. Skala Intensitas Gempabumi (SIG-BMKG) digagas dan disusun berdasarkan tipikal budaya atau bangunan di Indonesia. SIG-BMKG digunakan dalam penyampaian informasi terkait mitigasi dan atau respon cepat pada kejadian gempabumi merusak. Selain itu SIG-BMKG dapat memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memahami tingkatan dampak yang terjadi akibat gempabumi dengan lebih baik dan akurat.
Skala Intensitas Gempabumi (SIG-BMKG) |
Berdasarkan hasil penelitian Windiyanti dkk tahun 2018 : Hasil perekaman Stasiun Liwa menunjukkan bahwa Daerah Liwa merupakan daerah dengan nilai percepatan gerak tanah maksimum (PGA) sebesar 167-270 gal dan termasuk ke dalam skala intensitas VII-VIII MMI. Jika data ini disandingkan dengan Tabel SIG-BMKG, maka daerah Liwa masuk katagori level IV, berwarna jingga, dengan katagori resiko kerusakan sedang.
4. Conditional Probability Gempabumi
Aktivitas sesar tektonik yang memicu terjadinya gempa, cenderung mengalami perulangan kejadian dengan skala yang sama atau mungkin lebih besar. Pendugaan ini perlu dilakukan sebagai bagian dari langkah mitigasi dan pertimbangan dalam risk reduction, sehingga jatuhnya korban jiwa serta kerugian harta benda akibat gempabumi di masa mendatang dapat ditekan sekecil mungkin.
Conditional Probability didefinisikan sebagai kemungkinan atau peluang suatu peristiwa yang akan kembali terjadi pada periode waktu tertentu. Conditional Probability dapat dihitung dengan mengasumsikan bahwa aktifitas / kejadian gempabumi di masa yang akan datang mengikuti pola / ritme kejadian pada masa lalu.
Conditional Probability, sumber Faizah (2013) |
Berdasarkan hasil kajian Faizah dkk (2013) menunjukan bahwa conditional probability untuk 19 segmen sesar sumatera berada pada level “Likely” dimana persentase probabilitas untuk semua segmen sesar sumatera berada pada ring antara 10 % - 100 %, dimana peluang terjadinya gempabumi pada sesar semangko pada tahun 2030 dan pada sesar komering dimungkinkan terjadi kembali di tahun 2033.
Walau hasil perhitungan conditional probability merupakan hasil perkiraan, tapi dengan mengetahui perkiraan tahun perulangan kejadian gempa, akan memudahkan dalam menyusun time line dari rencana aksi pengurangan resiko gempabumi.
Baca Juga | Lingkungan yang adaptif dan resposif terhadap gempabumi |
Nah jika kebetulan tempat tinggal sobat, berada pada zona kerawanan tinggi gempabumi, baiknya informasi-informasi diatas dapat sobat ketahui, sehingga sejak dini sudah disiapkan langkah-langkah antisipasinya, misalnya menyiapkan ruang aman gempa, titik dan jalur evakuasi, dan melatih kesiap-siagaan bagi anggota keluarga, dan sebagainya.
Perlu dipahami bahwa korban gempabumi terbanyak disebabkan karena tertimpa bangunan dan tanah longsor, sebagai akibat terpaan energi gelombang seismik yang dilepaskan. Untuk itu belajar dari peristiwa gempabumi Liwa 1994, sudah sepatutnya Kota Liwa sebagai Ibu Kota Lampung Barat dalam Rencana Detail Tata Ruangnya sudah memperhatikan dan mempertimbangkan aspek kebencanaan, baik dalam hal perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang kotanya, agar terwujud kota Liwa yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Semoga bermanfaat ya Sobat, tetap jaga kesehatan dan Salam Lestari...
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid ayat 22-23).
Referensi:
- Harjadi, PJP, dkk. 1997. Potensi Gempabumi di Daerah Selat Sunda dan Sekitarnya. Jurnal Alami Vol 2 No.3 tahun 1997.
- Faizah, Restu, dkk. 2013. Probabilitas Kejadian Gempabumi pada Masa Mendatang di Zona Sesar Sumatra. Seminar Nasional Statistika dalam Managemen Kebencanaan, Fakultas MIPA, UII Yogyakarta, 15 Juni 2013
- Setiyono, Urip., et all. 2019. Katalog Gempabumi Signifikan dan Merusak Tahun 1821 – 2018. Penerbit Pusat Gempabumi dan Tsunami Kedeputian Bidang Geofisika, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
- Windiyanti, A.C., et all. 2018. Analisis Zona Rawan Gempabumi Daerah Lampung Berdasarkan Nilai Percepatan Tanah Maksimum (PGA) dan Data Accelererograph Tahun 2008-2017. Jurnal Geofisika Eksplorasi Vol. 3/No. 2.
ulasan tentang legenda dong
BalasHapus